September 11, 2025

Isekai Apocalypse Mynoghra Bahasa Indonesia Chapter 41.2

  

Chapter 41.2

Isekai Apocalypse Mynoghra Bahasa Indonesia Chapter 40.2

“Tidak mungkin! Kenapa ini bisa terjadi! Tidak mungkin! Itu tidak mungkin!”


Isla sama sekali tidak bisa menerima hal yang begitu keterlaluan.


Kekuatan adalah segalanya di dunianya.



Kekuatan dalam bentuk sederhana seperti persenjataan dan kemampuan bertarung, juga kekuatan yang tak berwujud seperti kecerdasan maupun kekuatan finansial.


Satu-satunya hukum yang ia yakini adalah bahwa mereka yang memiliki kekuatan dapat memperoleh segalanya dan mewujudkan keinginannya, sementara mereka yang tidak punya kekuatan hanya akan dirampas. Itu adalah hukum yang sederhana dan mutlak.


Itulah sebabnya ia tidak bisa memaafkan fenomena yang terjadi saat ini.


Sangat mudah disimpulkan bahwa kematian Fremine adalah penyebab dari fenomena ini.


Namun, yang memenangkan pertempuran adalah Isla. Jika dirinya, yang memiliki kekuatan lebih besar, harus jatuh dalam krisis seperti ini, lalu apa arti sebenarnya dari kekuatan itu?


Jika takdir sudah ditentukan sejak awal, lalu apa arti sebenarnya dari kemenangan?


“Yah, aku juga merasa begitu. Tidak ada yang bisa kau lakukan, sekeras apa pun kau berusaha. Aku sempat berpikir, kalau ini bisa membuat wajah bodohmu itu melunak sedikit. Kurasa itu mungkin.”


Isla tidak peduli pada ejekan penuh kepuasan yang mengalir dari wajah hancur lawannya.


Saat ini, itu bukanlah masalah utama.


Ia tidak bisa menghubungi Rajanya, Takuto. Hanya Isla yang dapat menyelamatkan kedua gadis yang berada di ambang kematian.


Ia memaksa kekuatan otot-ototnya hingga di ambang batas, mengamuk untuk melawan kekuatan tak kasatmata yang mengikat tubuhnya.


Namun, itu mustahil.


“Guuu! Gaa! Gaaaa!! Jangan kira hal seperti ini bisa menghentikan Isla!!”


“Oke, monster. Untuk terakhir kalinya akan kukatakan sesuatu yang bagus padamu. Dengarkan baik-baik, aku… mekanisme sialan ini—”


Ada prinsip tertentu di dunia yang tidak akan pernah bisa digulingkan, sekeras apa pun seseorang berusaha.


Itulah yang sedang terjadi sekarang.


“Aku menyebutnya [forced event].”


Itulah hakikat sebenarnya dari situasi putus asa yang tengah terjadi.


“…Aku tidak tahu dari dunia seperti apa kau berasal, tapi aku tahu itu adalah dunia yang lebih bebas dibandingkan duniaku.”


Suara lelaki itu terdengar begitu filosofis.


Di tengah rasa cemas yang menyesakkan, suaranya bergema di telinga Isla. Anehnya, suara itu dipenuhi belas kasih, membuat Isla tak bisa menahan diri untuk mendengarkannya.


“Tapi tahukah kau? Ada peristiwa yang benar-benar tak terelakkan di dunia ini. Kami, para boneka, tidak akan pernah bisa lari dari takdir itu. Satu-satunya yang bisa kami lakukan hanyalah—menyerah.”


Ia tidak tahu apa saja yang telah dilihat pria itu selama ini.


Bagaimana ia berjuang, atau apakah ia benar-benar telah menyerah, Isla pun tak mengetahuinya.


Namun, perkataan itu dipaksakan kepadanya—dan Isla sama sekali tidak bisa menerimanya.


Menerima bahwa itu adalah takdir? Ia tidak mungkin melakukan hal semacam itu.


“Ibu… Apa? Apa yang harus kulakukan?”


“Ibu Isla! Tolong… selamatkan…!”


Tidak mungkin ia menyerah di hadapan mereka.


Ia adalah seorang ibu, dan mereka adalah putri-putri yang begitu ia cintai, yang kini memohon pertolongan darinya.


“Aaaaaaaaaaaaaa!!!”


Otot-ototnya berderit.


Kekuatan yang tak punya jalan keluar mengamuk di dalam tubuhnya, kulit luar yang kekuatannya melampaui baja mulai retak, dan darah hijau pun mengalir.


Namun, Isla tetap tidak mengendorkan tenaganya.


“Oh! Benar sekali! Mereka penting bagimu, kan! Kau ingin melindungi mereka! Kau tak bisa membiarkan ini terjadi! Ayo, lakukan yang terbaik! Lakukan yang terbaik! Mungkin sebuah keajaiban akan terjadi! Tapi… aku sendiri belum pernah melihat hal semacam itu terjadi sebelumnya!”


Mayat Fremine… dan si kembar.


Jarak di antara mereka semakin menipis seiring waktu. Waktu terus berlari seperti jam pasir menuju eksekusi mati, setiap langkah yang diambil kedua gadis itu terdengar seperti detak jarum jam, menambah rasa bahaya yang kian menyesakkan.


“Kau tidak akan berhasil. Kau tak bisa melakukannya… Lalu ketika saatnya tiba—BOOM, semuanya berakhir. Biasanya aku akan menyerang kelemahan sang pahlawan, tapi… yah, tak usah pedulikan detail kecil itu.”


Kedua gadis itu menoleh ke arah Isla, dan tatapan mata mereka bertemu.


Apakah insiden ini benar-benar telah ditetapkan sebagai sebuah event?


Atau… apakah itu sekadar gerakan terakhir dari dua anak yang menyadari hanya tubuh bagian atas mereka yang bisa bergerak?


Namun, Isla tersenyum—sebuah senyum yang begitu lembut—kepada kedua gadis yang ketakutan itu.


“Tidak apa-apa… Aku pasti akan menyelamatkan kalian.”


Dengan putus asa ia memaksa tubuh yang tak mau bergerak, mencoba segala kemampuan yang ia miliki.


Ia pun berusaha memutar otaknya, mencari jalan keluar apa pun—namun jawaban yang diharapkannya tak kunjung datang, membuat frustrasi kian menumpuk.


“Aaah! Semuanya! Tidak mungkin! Aku salah paham…! Kupikir selama aku punya tekad, punya keyakinan, aku bisa bergerak sesuka hatiku!”


Satu langkah.


“Pahlawan! Raja Iblis! Semuanya! Tak pernah terpikir aku sedang dipermainkan! Pada akhirnya semua ini cuma papan catur belaka! Kau tak paham betapa mudahnya menyingkirkan seseorang hanya karena mereka tidak sesuai dengan kehendakmu!”


“Bukankah sudah cukup? Bahkan jika aku menyerah sekarang, aku sudah melakukan yang terbaik. Aku sudah memenuhi peranku!”


Langkah lain.


“Sial! Middle boss itu omong kosong! Pemain itu omong kosong! Semuanya cuma lelucon belaka! Lalu kenapa? Kenapa aku harus mati demi kisah sang pahlawan?! Jangan main-main denganku!!!”


Langkah kaki mereka semakin mendekati akhir.


Tak seorang pun lagi mendengarkan monolog Fremine.


Isla, si kembar, bahkan Ira Takuto yang merasakan adanya keanehan di tempat ini, semuanya berusaha sekuat tenaga untuk menghindari tragedi yang akan datang.


Tidak jelas apakah Fremine menyadari bahwa tak ada seorang pun yang mendengarkannya, ataukah ia hanya terbakar amarah hingga tak mampu berpikir jernih lagi. Sumpah serapahnya ditembakkan pada sesuatu yang bahkan tidak ada di sini.


“Kau juga sama! Kau dengar aku, kan?! Kau sedang menyaksikan semua ini, bukan?! ‘Kalau kau menghancurkan semua game, kau bisa bebas’—omong kosong! Kau sama sekali tak bermaksud begitu sejak awal!”


Tentu saja, tak seorang pun di sini punya waktu untuk mendengar ucapannya.


Tidak… mungkin ada satu orang yang mendengarkan.


Namun, tak ada cara untuk memastikannya.


Setidaknya, mustahil bagi peserta lain untuk muncul di panggung ini.


Satu langkah.


“Itulah sebabnya ini adalah bab terakhir! Kalian semua telah diseret ke neraka sialan ini! Anak-anak berhargamu pun ikut terseret bersama kalian! Kau mendengar, kan, Takuto-sama?! Kau juga seorang player, bukan?! Pernahkah kau membaca kisah kami bersama dia? Saat kau melihatku mati-matian bertarung melawan sang Pemberani, apa kau sempat berpikir, ‘Kalau sudah mengalahkan bos ini, waktunya perbarui perlengkapan’?!”


Tak ada yang menjawabnya.


“Jangan main-main denganku! Aku ada di sini! Aku hidup di sini! Itu sebabnya…! Inilah pelecehan terbesarku! Aku akan membunuh kesayanganmu di sini! Karena… memang begitulah jenis event ini!”


Fremine tertawa. Ia hanya tertawa, seperti orang gila.


Tak ada lagi jejak pria yang dulu dijuluki iblis licik nan kejam. Yang tersisa hanyalah nestapa seorang manusia malang, yang mengutuk takdirnya dan putus asa akan hidupnya.


Ia bahkan tak tahu apakah tindakannya kali ini benar-benar berasal dari niatnya sendiri.


Satu-satunya hal yang ia tahu hanyalah kenyataan bahwa segalanya berjalan sesuai dengan keinginannya.


Tak lama kemudian, kedua gadis itu tiba di hadapan mayat.


Wajah mereka dipenuhi rasa takut akan kematian, air mata mengalir dari mata mereka.


Bahkan Cearia, yang biasanya begitu tegar, tak mampu menahan diri. Apalagi Mearia, yang biasanya jarang memperlihatkan emosi, kini juga sama.


Mereka mengutuk takdir mereka.

Gadis-gadis yang sejak lama ingin mati itu kini berdiri gemetar di hadapan kematian.


Tidak… Itu karena mereka telah merasakan hangatnya sebuah keluarga baru, menemukan kasih sayang dari seorang ibu baru. Dan karena itulah, mereka kini menjadi takut akan kematian.


Sungguh bertolak belakang dengan pria di hadapan mereka, yang juga mengutuk takdirnya, namun tak pernah benar-benar memahami arti dari nasibnya sendiri.


Klak. Sebuah suara terdengar, seperti tanda bendera yang terpicu.

Tak seorang pun mendengarnya.


Tak seorang pun memahaminya.


Namun, itu adalah pengumuman bahwa akhir telah tiba, dan takdir kini telah dipastikan.


Kematian datang sama rata kepada semua makhluk.


Keputusasaan datang sama rata kepada semua makhluk.


Tidak peduli meski lawannya adalah monster yang berada di luar batas imajinasi, mereka tetap diperlakukan tanpa perbedaan.


Tak seorang pun bisa lari darinya.


“Tunggu—tolong tunggu! Tunggu!!”


Isla menjerit. Suaranya terdengar seperti ratapan, sebuah teriakan yang memohon setitik cahaya harapan.


“Aku benci! Aku benar-benar benci! Terutama padamu! Aku benci kalian semua! Karena itulah, inilah hadiah terakhirku… Terimalah dan bersyukurlah! Gahahahahahahaha!!!”


Namun, kenyataan selalu kejam.


“Ibu—”


Tubuh Fremine berkilau sesaat, lalu seketika api destruktif dengan panas dan kekuatan yang tak terlukiskan melahap segalanya.


Seluruh area berubah menjadi abu, angin panas menjelma badai dan meniup semuanya tanpa sisa.


Debu yang membubung tinggi menutupi matahari, menghadirkan kegelapan layaknya tengah malam.


Pecahan kayu berjatuhan ke tanah bagaikan hujan, sementara udara yang hangus berhembus lirih.


Akhirnya, keheningan sejati pun datang—dan tak seorang pun menjadi pemenang…


Takdir telah menuntaskan putaran kisah ini, persis sebagaimana ia telah ditentukan sejak awal.






PREVIOUS | INDEX | NEXT

Baca doank, komen kaga !!!
Ampas sekali kalian ini


EmoticonEmoticon