Chapter 4 - Part 10
“Apakah ini… hal yang biasa di dunia luar?”
“Dari semua hal bodoh yang pernah kudengar—ya, sungguh omong kosong. Seolah dia bisa dianggap biasa saja. Orang itu adalah Makhluk Tertinggi, raja yang menguasai segala yang ada di dunia ini. Dalam kecerdasan, wibawa, dan kekuatan. Tak ada yang bisa menandinginya dalam aspek manapun.”
“Arr, aku mengerti. Jadi dia memang kekuatan yang menakutkan bahkan untuk dunia luar.”
Ia sedikit lega mengetahui bahwa pria yang berusaha mendominasi dirinya — yang tengah mempertontonkan kekuatannya — benar-benar seorang makhluk perkasa. Seandainya pria itu hanyalah seorang yang lemah dengan wajah tampan, betapa menyedihkannya, tak sanggup mengalahkannya dan malah hanya bisa melihat istrinya direbut.
Jadi dunia di balik kabut itu bukanlah ranah para monster superman? Kalau begitu, di manakah kekuatanku sendiri berada?
Pertanyaan wajar yang muncul bagi seseorang yang digiring keluar menuju dunia luar, namun setelah mendengar kata-kata Greluné, ia mendengar makhluk hidup itu mendesah, “Haaah.”
“…Apa kau kekurangan fungsi untuk mengenali kata-kata? Atau kau memang tak mampu memahami? Bukankah tadi sudah kukatakan? Orang itu berdiri di puncak dunia. Dan kau menyebutnya hanya ‘kekuatan yang menakutkan’? Ucapanmu terlalu enteng.”
Meskipun ekspresinya tidak berubah, matanya dipenuhi penghinaan yang jelas. Fakta bahwa ia hanyalah seorang makhluk hidup saja sudah cukup membuatnya ingin membunuhnya, tetapi wanita ini bukan sosok yang bisa ia remehkan. Ia tetap tenang setelah menerima dua kali lontaran [Fireball]-nya.
Sekalipun ia memperoleh ketahanan terhadap api berkat mantra pertahanan, kemampuannya tetap luar biasa. Ia mungkin punya kekuatan lebih dari cukup untuk menghancurkannya — jika tidak, pria itu takkan meninggalkannya di sini.
“Ye—” Apakah itu cara yang benar untuk menyapanya? Akan merepotkan jika ia menyinggung perasaannya. Namun ia juga tak ingin langsung merendahkan diri. Setelah pergulatan batin singkat, ia menggunakan bentuk sapaan yang sama seperti sebelumnya.
“…dibandingkan denganmu, sekuat apa Ainz—”
Bayangan melintas di wajah makhluk hidup itu, lalu ia menoleh pada Greluné dengan tatapan menusuk tulang. Tatapan itu cukup kuat hingga membuatnya merasakan sebuah emosi baru — rasa takut.
“—sama, seberapa kuat Ainz-sama itu?”
“Hmm, biar kupikir. …Kira-kira lebih besar dari jarak antara dirimu dan seekor Tengkorak.”
“…Tentu saja, itu kebohongan besar.”
“……”
“…Itu benar?”
Kalau makhluk hidup ini sangat lemah, ia masih bisa mengerti. Tapi analisisnya menunjukkan bahwa itu bukanlah kasusnya. Apa ia sedang merendah karena statusnya sebagai pelayan, demi meninggikan tuannya? Lagipula—
—Kenapa dia punya salah satu makhluk hidup sebagai pelayan? Dia bahkan bisa menguasai istriku, kan? Apa yang terjadi dengan pasukan undead-nya?
“…Bukankah dia memelihara undead di bawah kendalinya?”
“‘Dia’? Sudah cukup, kau sebaiknya berhati-hati bagaimana kau menyebut Sang Penguasa Tertinggi.”
Wajahnya terpelintir dalam ketidaksenangan. Itu adalah kesalahan Greluné.
Dia tentu tidak sebodoh itu untuk tidak tahu siapa yang dimaksud dengan “Sang Penguasa Tertinggi,” mengingat kata-kata agung yang barusan diucapkan.
“Dia adalah… Ainz-sama.”
“Haaah,” makhluk hidup itu kembali mendesah.
Apa makhluk hidup ini memang suka mendesah?
“Ainz-sama memerintah atas sejumlah besar undead.”
“Jumlah yang besar, ya… Jadi, undead apa yang paling umum di antara mereka?”
Mata makhluk hidup itu terbelalak. Dia tidak bermaksud menanyakan hal yang aneh, tapi sepertinya wanita itu akan menganggap ini sebagai pertanyaan yang menyesatkan lagi.
Makhluk itu mengerutkan alis, wajahnya meringis.
“…Betapa memalukan. Membayangkan bahwa aku, ciptaan Para Penguasa Tertinggi, bahkan tidak bisa menyebutkan jenis-jenis undead yang berada di bawah komando Ainz-sama…”
“kkamuu..., perkiraan kasar saja sudah cukup…”
“Perkiraan kasar? Kau memintaku berbicara sembarangan, memintaku berbohong tentang Ainz-sama?”
Makhluk itu jelas tengah dikuasai oleh emosi yang disebut frustrasi. Emosi yang sama yang pertama kali Greluné rasakan ketika istrinya direbut darinya. Undead tampan itu tampaknya benar-benar telah memikat hati makhluk hidup ini.
Jika itu bukan karena mantra atau kemampuan khusus, hal itu saja sudah cukup membuat Ainz patut diperhitungkan.
Bagi Greluné sendiri, ia sama sekali tak menginginkan bawahan yang hidup. Dikelilingi oleh makhluk hidup, pada akhirnya ia akan kehilangan kendali dan menyerang mereka, tak peduli sekeras apa pun ia mencoba menahannya. Atau mungkin, jika ia menghabiskan cukup waktu di antara makhluk hidup, dorongan itu — yang muncul dari kedalaman jiwanya — akan menghilang.
Bagaimanapun juga, ia mungkin harus menghadapi makhluk hidup di sampingnya, yang kini sedang bergumam sendiri sambil menyebutkan berbagai nama undead. Ia tak menyangka pertanyaan sesederhana itu bisa membuatnya berkeringat dingin.
“Pastilah Ainz-sama tidak sempit hati sampai menghukummu hanya karena kebodohanmu. Jadi sebutkan saja undead yang kau tahu, meski salah sekalipun.”
Makhluk hidup itu terdiam sejenak, lalu setelah tampak menemukan jawaban, ia membuka mulut.
“Zombie.”
“Yo ho, Zombie, ya?”
Undead dengan peringkat terendah. Memang, kemungkinan besar jumlah Zombie sangat banyak.
“…Benar. Mungkin ada lebih banyak Zombie dibanding undead jenis lain di Naza… mm, di markas Ainz-sama. Tapi kalau soal undead yang diciptakan langsung oleh Ainz-sama… mungkin sebagian besar adalah Death Knight?”
“D-, Death Knight?!”
Ia pernah melihat satu sekali, di masa lalu.
Meski Greluné kuat, ia tidak yakin bisa mengalahkan undead semacam itu dalam pertarungan di darat.
Dan lebih dari itu—
“—Diciptakan? Kau bilang, diciptakan?!”
Tanpa sadar ia mengalihkan pandangannya dari makhluk hidup itu, menatap Ainz, yang tengah melakukan tindakan tak masuk akal: menepuk-nepuk kepiting sambil tetap menerima serangan darinya.
“Ya. Karena kebodohanku, aku tidak bisa menyebutkan jumlah pastinya, tapi jumlahnya begitu banyak hingga aku bahkan tak bisa bilang berapa ratus jumlahnya.”
Makhluk hidup itu berbicara dengan nada begitu serius sehingga mustahil menganggapnya berbohong.
Demi lautan… kegilaan apa ini…
Tak mungkin. Tidak mungkin undead semacam itu bisa ada dalam jumlah sebanyak itu. Sekalipun ia mengambil jarak sejauh seribu langkah, ia hanya bisa menerima kemungkinan ada satu saja.
Bagaimanapun juga, angka sebanyak itu sungguh tidak masuk akal.
Mungkin saja “Death Knight” yang dimaksud makhluk hidup ini berbeda dengan “Death Knight” yang dikenalnya?
Itu jawaban yang paling masuk akal.
Arr, apa makhluk hidup ini memang sudah miring kepalanya? Tapi… aye, tapi…
Satu di sepuluh ribu. Tidak, satu di antara satu miliar, bahkan satu di antara satu triliun kemungkinan — jika semua yang dia katakan itu benar—
Baca doank, komen kaga !!!
Ampas sekali kalian ya~
EmoticonEmoticon