September 10, 2025

OVERLORD Bahasa Indonesia Phantom Ship of Katze Plains Chapter 3 - Part 3

          

 

 Chapter 3 - Part 3

Bagaimanapun, seorang warrior sejati bertugas sebagai garis depan, menjadi perisai andal bagi para squishy.


Setelah Narberal memberi isyarat bahwa ia mengerti, Ainz segera mengalihkan pandangannya. Tepat pada waktunya, ia melihat Skeletal Dragon yang sedang dilawannya berusaha menyerangnya dari samping dengan kibasan cakar.


Ia menghindar, melangkah maju, lalu menghantam tubuh lawannya dengan pedang yang digenggam erat dengan kedua tangan.


Mengalahkannya hanya dengan pedang memang merepotkan. Akan lebih cepat kalau aku mendominasi undead ini dan membuat mereka saling bertarung. Tapi kalau begitu, malah bisa menimbulkan kecurigaan.


Lawan di hadapannya hanyalah undead dengan tingkat kecerdasan sebatas “membunuh yang hidup.” Tanpa sedikit pun memikirkan mundur, makhluk itu menjulurkan lehernya ke arah Ainz, berusaha menggigit dan mengunyah tubuhnya.


Layaknya seorang pemukul, Ainz mengambil posisi setengah badan, menarik pedangnya ke belakang, lalu melangkah berat sebelum melancarkan tebasan horizontal penuh tenaga.


Tengkorak putih yang terlempar ke belakang itu tampak seperti parodi yang sangat buruk dari permainan baseball.


Kali ini, Ainz menghantam dengan sisi datar pedangnya. Monster tipe skeleton—seperti dirinya sendiri—sama sekali kebal terhadap serangan tusukan, namun sangat lemah terhadap serangan tumpul. Sampai sekarang ia tidak terlalu memedulikannya karena masih ada waktu, tapi kini ia harus segera mengalahkannya dan membantu Narberal.


—Ironinya, justru kemunculan rekannya membuat waktu yang ia miliki semakin sempit.


“Waktu bermain sudah selesai.”


Ia mengucapkannya cukup keras agar para petualang bisa mendengar. Sebenarnya, Ainz sama sekali tidak menganggap pertarungan ini sebagai sebuah permainan. Ia hanya berkata begitu karena merasa kalimat itu terdengar keren, atau seperti sesuatu yang akan diucapkan seorang petualang peringkat Adamantin. Namun, begitu kata-kata itu keluar, Ainz langsung menyesalinya.


Meskipun ia sudah menyatakan bahwa waktu bermain telah berakhir, bukan berarti cara bertarungnya akan berubah. Kalau ada sesuatu yang mencolok—seperti pedangnya yang tiba-tiba diliputi api—itu lain cerita. Namun, yang bisa dilakukan Ainz hanyalah terus menghajar lawannya tanpa henti.


Kalau begitu—hanya ini pilihannya!


Ia melantunkan sebuah spell yang telah dimodifikasi dengan metamagic.

[Silent Magic – Perfect Warrior].


Lalu, dengan hati-hati agar tidak menggunakan seluruh kekuatannya, Ainz melangkah maju. Bahkan ketika ia menahan diri, kecepatannya meningkat lebih dari dua kali lipat dibanding sebelumnya, berkat statistik seorang Warrior level 100. Dalam sekejap, ia sudah memasuki jarak lawan—lebih cepat daripada Skeletal Dragon mampu bereaksi.


Merasa kaki, pinggul, torso, dan dadanya bergerak selaras tanpa hambatan, ia menyalurkan seluruh momentum itu ke greatsword yang melesat menebas leher Skeletal Dragon.


Eksekusi itu terjadi lebih cepat daripada kedipan mata.


Tanpa menoleh sedikit pun pada tengkorak yang jatuh, Ainz berputar di tumitnya dan mulai berjalan perlahan menuju Narberal.


Narberal tengah menjalankan perintahnya dengan sempurna—sepenuhnya fokus pada pertahanan, dan dengan terampil menangkis setiap serangan.


Meskipun seharusnya ia mungkin bergegas, Ainz tidak melakukannya karena dua alasan: pertama, ia yakin Narberal akan baik-baik saja, dan kedua, ia merasa berjalan dengan penuh keyakinan akan lebih cocok dengan sosok heroik bernama Momon.


“Satu tebasan.”


Ia sempat lupa sebelumnya, jadi kali ini ia mengumumkannya cukup keras agar para petualang bisa mendengar. Tujuannya sederhana: mengurangi kecurigaan atas peningkatan kekuatannya yang tiba-tiba dengan membuatnya seolah dilakukan secara sengaja.


Akan sangat memuaskan bila mereka mengira ia akhirnya bertarung dengan serius, atau menggunakan sebuah Martial Art. Paling buruk, mereka mungkin menganggap hal itu wajar karena lawan sudah menerima cukup banyak luka sebelumnya—setidaknya, ia berharap begitu. Kalau pun tidak, ia bisa saja bersikeras. Bahkan, kalau terpaksa, ia bisa mengandalkan statusnya dengan menuduh mereka meragukan penilaian seorang petualang peringkat Adamantin.


Kalau ada satu hal yang ia sesali, itu adalah karena tidak mengumumkannya sejak awal—tentu akan terdengar jauh lebih keren.


Alasan ia tidak melakukannya sederhana: ia tidak yakin bisa benar-benar mengalahkannya hanya dengan satu tebasan. Betapa memalukan rasanya jika ia membuat pernyataan besar, lalu gagal menyelesaikan musuh dalam satu pukulan.


Kalau dipikir-pikir… menyalahgunakan status, ya?


Ia memang tidak ingin melakukan hal semacam itu terhadap para anggota Nazarick, tapi untuk para petualang yang bahkan tidak ia kenal—itu bukan sesuatu yang benar-benar ia pedulikan. Mendadak, wajah para Dwarf dan keluarga Bareare terlintas di benaknya.


Sepertinya tidak baik juga kalau dipakai terhadap rekan kerja… ah, sial.


Pikirannya sempat melayang pada hal-hal yang sama sekali tidak relevan dengan situasi saat ini.


“Nabe. Terima kasih sudah menahan yang satu ini. Mulai sekarang biar aku yang tangani.”


“Baik, Momon-sa—n.”


Secara logika, seharusnya ia segera menyerang Skeletal Dragon dari samping alih-alih membuang waktu dengan perkataan yang tidak perlu kepada Narberal. Namun, sama seperti yang sudah ia lakukan sejak awal, Ainz tetap harus menunjukkan ketenangan yang pantas dimiliki oleh seorang petualang peringkat Adamantin.


Saat Narberal berusaha mundur, Skeletal Dragon langsung mencoba melancarkan serangan. Namun, bagi Ainz—yang memperoleh kekuatan fisik setara Warrior level 100 berkat [Perfect Warrior]—gerakan Skeletal Dragon itu terasa seolah bergerak dalam slow motion.


Ia melangkah maju dan menebaskan pedangnya ke leher yang terjulur itu.


Kepalanya terlepas dengan mudah, berputar di udara sebelum akhirnya jatuh menghantam tanah.


Sorakan kagum terdengar dari para petualang, “Ohhh!” Suara itu jelas berbeda dari saat ia mengalahkan Skeletal Dragon pertama, yang tidak memicu reaksi serupa. Sepertinya, deklarasi yang ia buat sebelumnya memang punya pengaruh.


Ainz lalu mengalihkan pandangannya ke Skeletal Dragon terakhir—yang seharusnya sedang dihadapi oleh Hamsuke.


Hamsuke terus menekan dengan dominasi sepihak.


Perbedaan kekuatan mentah terlihat jelas.


Dengan suara retakan tajam, Hamsuke mengayunkan ekornya layaknya cambuk, memberikan serangan demi serangan yang stabil. Retakan halus mulai menjalar di seluruh tubuh Skeletal Dragon, dan makhluk itu sudah berada di ambang kehancuran. Ainz sama sekali tidak perlu turun tangan.


“Pertarungan begini bahkan tidak akan memberi XP… hah…”


Ainz merasa jengkel pada dirinya sendiri karena masih memikirkan hal-hal seperti seorang gamer—seberapa banyak experience point yang bisa ia dapat dari level Skeletal Dragon ini dibandingkan dengan level Hamsuke yang ia perkirakan.


Andai saja sistem level di dunia ini bekerja seperti di dalam game, segalanya akan jauh lebih sederhana.


Meskipun Ainz dan seluruh penghuni Nazarick tampaknya terikat pada konsep level dari YGGDRASIL, bukan tidak mungkin makhluk dunia ini—seperti Hamsuke dan Lizardman bernama Zaryusu yang telah mereka taklukkan—sama sekali tidak disusun berdasarkan sistem level.


Yah… aku punya firasat mereka memang disusun seperti itu… Sistem Tier Magic, dan hal-hal lain yang serupa, menjadi buktinya…


Itulah sebabnya Ainz mengadakan eksperimen pelatihan tempur dengan para Lizardman yang telah ia taklukkan. Kini, karena serangan ke sesama sekutu sudah diizinkan, pendongkrakan level dengan cepat pun menjadi mungkin. Dengan cara membiarkan mereka mengalahkan undead POP yang muncul di Nazarick, lalu mencatat berapa banyak yang berhasil ditumbangkan, Ainz bisa meneliti apakah perhitungan experience point benar-benar berlaku.


Jika tidak ada peningkatan kemampuan abnormal dalam arti level up—hanya peningkatan fisik alami melalui pelatihan—maka eksperimen ini dianggap gagal… Dan kalau memang ada batas level, semuanya juga jadi sia-sia… Tapi, mengingat mereka yang pernah dihidupkan kembali, seperti Zaryusu, melaporkan tubuh mereka bergerak dengan buruk, pasti ada sesuatu yang mirip dengan level down akibat resurrection magic…


Dari hasil eksperimen yang menunjukkan Hamsuke kini bisa mengenakan armor—dan memperoleh kelas Warrior—tampaknya ia memang menerima keuntungan dari sistem level. Namun, karena Nazarick sendiri adalah entitas yang dipengaruhi oleh sistem game, bisa saja justru keterlibatan itulah yang memungkinkan Hamsuke untuk naik level.


Sungguh, semuanya terasa begitu membingungkan…


Saat Ainz tengah memikirkan berbagai cara untuk memperkuat Nazarick di masa depan, Hamsuke menghantam kepala Skeletal Dragon hingga terlepas, lalu memberinya pose kemenangan.


“Kerja bagus, Hamsuke.”


“Haha, ya, benar begitu!”


Hamster raksasa itu berjalan mendekat dengan bertumpu pada dua kaki.


Kau itu hewan, jadi berlarilah dengan keempat kaki!, pikir Ainz, meski tak mengatakannya.


Sebaliknya, ia justru merasa kagum Hamsuke bisa berdiri tegak menopang tubuhnya hanya dengan dua kaki belakang. Bahkan, ia merasa pose itu semakin sering ia lihat sejak Hamsuke memperoleh kelas Warrior.


Kalau dia mengejar kelas seperti Monk, mungkinkah dia bisa menggunakan teknik tendangan dengan kaki itu?


Namun, Hamsuke adalah makhluk sihir. Jadi kemungkinan besar ia memang mampu melakukan hal-hal seperti itu, tidak seperti binatang biasa.


“Kalau begitu, apakah kalian semua di sana baik-baik saja?”


Ainz berseru kepada para petualang yang berdiri tak jauh dari situ. Seorang pria yang tampaknya seorang pejuang maju ke depan. Sepertinya dia adalah perwakilan mereka — kemungkinan besar pemimpin tim.


“Kami sangat berterima kasih atas bantuan Anda. Maaf kalau saya keliru, Tuan, tetapi apakah Anda Momon-sama sang Darkness, petualang berperingkat Adamantite yang terkenal itu?”


Berlawanan dengan penampilannya yang garang, pria itu berbicara dengan sopan. Barangkali gaya luar itu hanya cara untuk membentuk persona seorang petualang, sementara aslinya ia hanyalah seorang pemuda yang tulus. Itu bukan hal yang aneh. Banyak petualang yang menyamarkan diri dengan cara seperti ini agar tidak diremehkan oleh klien, pesaing bisnis, maupun rekan seprofesi. Mewarnai rambut adalah salah satu contohnya.


Ainz cukup akrab dengan hal-hal semacam itu karena sering berinteraksi dengan para petualang.


“Ah, sepertinya kalian mengenalku. Ya, aku Momon. Dan di sana adalah rekanku, Nabe. Sedangkan ini tungganganku, Hamsuke.”


“Aku Hamsuke, iya benar begitu.”


Hamsuke segera menundukkan kepalanya dengan sopan, sementara Narberal hanya sedikit memiringkan kepalanya tanpa berkata apa-apa. Bahkan tidak bisa disebut anggukan; nyaris tak ada gerakan sama sekali. Namun, Ainz merasa sangat terharu melihat itu, sambil berpikir, lihatlah, betapa dia sudah berkembang!





Narberal yang dulu pasti akan merespons dengan jauh lebih keras. Namun, setelah melihat Hamsuke memberi salam dengan benar, ia tak bisa tidak merasa bahwa Narberal masih punya jalan panjang untuk ditempuh.


“Senang berkenalan denganmu. Aku Antwali. Dan ini adalah—”


Antwali kemudian memperkenalkan rekan-rekannya serta menjelaskan bagaimana mereka bisa berada di sana, sementara Ainz mendengarkan dengan sikap seolah-olah penuh perhatian. Meski sempat menarik perhatiannya bahwa mereka sebenarnya adalah Worker dan bukan petualang, tak ada hal dalam cerita mereka yang membuatnya merasa perlu bertanya lebih jauh.


Setelah selesai, giliran Ainz yang berbicara.


“Begitu… Kami datang ke dataran ini untuk mencari sebuah kapal yang dapat berlayar di daratan, atas permintaan Albedo, Perdana Menteri Kerajaan Sihir.”


“Maksudmu Kapal Hantu dari Dataran Katze? Paman juga pernah dengar tentang itu, tapi bukankah itu cuma rumor atau cerita berlebihan saja?”





PREVIOUS | INDEX | NEXT


Baca doank, komen kaga !!!
Ampas sekali kalian ya~


Peringatan: Author ngambek, auto delete!! Belilah Novel aslinya jika sudah tersedia!!





EmoticonEmoticon