September 04, 2025

Tsuki ga Michibiku Isekai Douchuu Bahasa Indonesia Chapter 69 - Keresahan Hibiki

 





Chapter 69 - Keresahan Hibiki


Pertempuran dimulai dalam kesunyian.


Usai menyelesaikan pidato yang lebih mirip upacara dengan Sang Dewi tanpa kendala berarti, baik pasukan kekaisaran maupun pasukan kerajaan sama-sama menerima berkah Dewi. Pada saat yang sama, ras iblis dikatakan mendapatkan kutukan setengahnya.


Hibiki merasa gelisah, membayangkan Pahlawan dari Gritonia mungkin akan melakukan sesuatu secara diam-diam. Namun pada kenyataannya, ia hanya membaca naskah langsung dari selembar kertas, dan pidato itu pun berakhir tanpa kejutan apa pun.

Pasukan kerajaan mulai maju sesuai jadwal dan akhirnya berhadapan langsung dengan musuh. Hibiki dan yang lain, yang berada cukup jauh di belakang garis depan, bisa merasakan hawa pertempuran menyentuh kulit mereka.


Namun, situasinya sedikit berbeda dari perkiraan.


Memang benar kekuatan sekutu meningkat cukup besar. Bahkan Hibiki, yang semula setengah ragu, bisa melihat dengan jelas bahwa kekuatan sihir itu benar-benar meningkat dua kali lipat.


Akan tetapi, ia tidak merasakan musuh mereka melemah hingga setengahnya. Memang Hibiki sendiri tidak turun langsung ke medan tempur untuk memastikan, tapi dari apa yang tampak, lawan mereka jelas tidak sampai begitu lemah.


Meski begitu, jalannya pertempuran tetap condong ke arah yang menguntungkan. Pasukan kaum hyuman telah beberapa kali melancarkan serangan dan berhasil mencerai-beraikan ras iblis seolah-olah merobek kertas tipis. Tidak sekalipun pihak mereka sampai dipaksa mundur.


Kemajuan pertempuran itu membuat siapa pun berpikir bahwa yang tersisa hanyalah merebut bagian dalam benteng. Pasukan kerajaan, juga pasukan kekaisaran, terus mendorong barisan mereka hingga ke depan benteng. Bagian depan benteng itu sendiri terbuka lebar—dibuka oleh kaum iblis sendiri. Akibatnya, jumlah pasukan yang mulai menyerbu ke dalam benteng pun kian membludak.


Semangat tempur meluap tinggi. Hanya tinggal menunggu waktu sebelum mereka benar-benar menyerang ke dalam benteng.


Namun, rangkaian kejadian ini berlangsung tanpa bantuan Hibiki dan kelompoknya. Pihak kekaisaran pun belum melaporkan kemunculan jenderal empat lengan. Semua hal itu menimbulkan keraguan dalam hati Hibiki. Alarm dalam benaknya berbunyi nyaring, seolah berusaha memberi peringatan.


“Ne, Naval. Ini agak aneh. Dalam kondisi apa pun, ini terlalu mudah. Bukankah tempat ini disebut benteng yang tak tertembus?” (Hibiki)


“Iya. Tidak mungkin semua ini berakhir tanpa kita berbuat apa-apa. Apa mungkin pahlawan-sama dari kekaisaran sedang banyak berperan?” (Naval)


Hibiki mengabaikan bagian terakhir ucapan Naval, hanya memusatkan pikirannya pada kondisi benteng. Bahkan seorang prajurit bayaran berpengalaman seperti Naval merasakan kejanggalan ini. Itu bisa berarti sesuatu benar-benar akan terjadi. Instingnya jelas memberi tanda, tapi karena kurangnya pengalaman, Hibiki tidak mampu menyimpulkan apa pun. Hal itu sungguh membuatnya kesal.


“Tapi! Selama kita merebut gerbang, maka pertempuran ini akan diputuskan! Tak lama lagi kita bisa menjatuhkan Benteng Stella! Akhirnya kita bisa mengambil langkah pertama untuk membangkitkan kembali Elision!” (Bredda)


Bredda tampak benar-benar terbakar semangat. Dalam keadaan itu, tak mungkin ia bisa berpikir dengan jernih. Bahkan Wudi, yang berdiri sejajar dengan Chiya, menunjukkan ekspresi semangat yang tak biasa saat menatap medan pertempuran.


Chiya mulai sedikit terbiasa dengan suasana medan perang, meski rasa takut terhadap hawa pertempuran itu masih menggenggam dirinya. Ia seakan bisa tetap berdiri tegak hanya karena berada di sisi semua orang.


Benar, keadaan Bredda dan Wudi-lah yang mencerminkan kondisi pertempuran. Serangan itu benar-benar dilancarkan langsung dari depan. Di medan perang, batas antara kekaisaran dan kerajaan sudah tak ada lagi. Arah mereka memang sedikit berbeda, namun pada akhirnya kedua pasukan berkumpul di depan benteng dan maju bersama menuju gerbang.


“Aku benar-benar tidak bisa menghilangkan firasat buruk ini. Wudi, Chiya-chan. Untuk berjaga-jaga, siapkan formasi sihir gantung untuk penghalang pertahanan dan pergerakan cepat.” (Hibiki)


“Tapi melakukan itu untuk semua orang tidak mungkin. Bahkan untuk melindungi area sekitar kita saja, aku bisa kehabisan tenaga.” (Chiya)


Itulah keluhan Chiya. Jumlah kekuatan sihir tidak serta-merta berbanding lurus dengan seberapa luas jangkauan sebuah mantra. Dan memperluas area sihir memang bukan keahliannya.


“Kalau hanya untuk kelompok kita, aku bisa menyiapkan pergerakan cepat. Tapi untuk seluruh unit, itu sama sekali mustahil. Aku ini bukan roh, bagaimanapun juga.” (Wudi)


Wudi, di sisi lain, tidak memiliki jumlah kekuatan sihir sebanyak Chiya. Meski mampu mengendalikannya dengan baik, tenaga yang ia miliki tidak akan cukup untuk skala sebesar itu.


“Kalau begitu, tidak apa-apa kalau hanya untuk kita saja. Toh kita juga tidak melakukan apa-apa sekarang, jadi kumohon.” (Hibiki)


Meski sempat ragu, keduanya menerima permintaan sang pahlawan. Mereka membentuk sihir dan menahannya dalam keadaan siaga. Bagaimanapun, mereka adalah anggota kelompok pahlawan. Bagi mereka, prestasi sebesar ini masih bisa dilakukan.


(Kalau itu aku, apa yang akan kusiapkan? Hal yang akan kulakukan bila pasukan kekaisaran dan kerajaan berkumpul di satu tempat adalah…) (Hibiki)


Hibiki merenung. Tebing yang membentang di kedua sisi Benteng Stella… Sejak awal, benteng itu berfungsi sebagai titik penyumbat. Justru karena itu, ia tak mengerti mengapa ras iblis malah membuka bagian depan benteng—yang sudah sempit sejak awal—sebelum pertempuran, membuatnya lebih mudah diserang. Seharusnya mereka bisa menempatkan prajurit di tebing dan menyerang dari atas. Tapi, toh hal itu memang sudah dilakukan. Pasukan manusia sudah beberapa kali menerima serangan dari bagian atas benteng maupun dari tebing.


Yang terpikir berikutnya adalah perbedaan ketinggian. Benteng berdiri di posisi tinggi, sementara pasukan hyuman menyerbu dari jalan menanjak di bawahnya. Tapi kemiringannya tidak terlalu tajam. Dari kondisi saat ini, memang terlihat seolah mereka bisa saja menjatuhkan batu-batu besar ke gerbang depan. Namun, tidak ada alasan masuk akal untuk membiarkan musuh mendekat sejauh itu hanya demi melakukan hal tersebut.


Mereka juga bisa saja membanjiri benteng dengan air, tapi itu akan membutuhkan jumlah air yang luar biasa banyak. Sama seperti batu-batu jatuh tadi, rasanya strategi itu terlalu memperhitungkan musim.


(Jangan-jangan… yang seperti di film-film pemburu harta itu? Dinding di kiri dan kanan menutup, menjepit musuh yang sedang maju di jalur sempit. Itu memang strategi klasik ketika lawan menyerbu lewat jalan sempit. Tapi apa sebenarnya yang mereka rencanakan? Yah… kalau setidaknya aku bisa membuat kita kembali ke perkemahan dengan selamat, sepertinya sebagian besar kemungkinan masih bisa kita atasi… mungkin.) (Hibiki)


Sejak awal, strategi kali ini memang penuh dengan hal-hal yang tak dipahami Hibiki. Dan bukan hanya yang terkait pasukan musuh. Pahlawan dari pihak kekaisaran itu pun—sejak pertama kali berinteraksi dengannya, rekan-rekan Hibiki langsung melantunkan pujian setinggi langit. Ia benar-benar tak bisa mengerti. Memang, Hibiki tidak punya banyak pengalaman dalam pertempuran malam. Tapi kalau mereka sampai bersusah payah melakukannya, setidaknya pilihlah saat bulan tidak muncul. Dan kalau bisa, di bawah langit berawan dengan bintang yang sedikit. Dengan begitu, rencana akan jauh lebih solid—begitu pikir Hibiki.


Sambil memikirkan hal itu, Hibiki menatap pasukannya sendiri.


Ini gila. Benar-benar sebuah ruang di mana kegilaan mengambil alih segalanya. Meskipun benteng yang mereka idam-idamkan sudah tepat di depan mata, para prajurit di garis depan hanya bisa melihat gerbang dan kemungkinan untuk menjatuhkannya. Lebih parah lagi, di medan perang yang seharusnya hanya diisi oleh pasukan garis depan, kini bercampur pula unit-unit dari barisan tengah, bahkan para penyihir yang seharusnya berada di belakang. Hal serupa juga terjadi pada pasukan Kekaisaran.


Di hadapan benteng ras iblis—benteng yang telah merenggut teman dan keluarga mereka. Bagi Hibiki sendiri, tempat ini memang belum merenggut siapa pun darinya. Namun dari kegilaan yang dilepaskan para prajurit, ia mulai sedikit memahami arti dari kata-kata itu.


(Jadi ini… perang, ya. Meski aku bisa memahaminya, tetap saja sulit untuk ditanggung. Disambut dengan sorak pujian dan kegembiraan hanya karena membunuh…) (Hibiki)


Bahkan Naval yang biasanya tenang kini memperlihatkan bara api yang tak bisa ia sembunyikan di matanya. Hibiki merasa, mungkin hanya dirinya dan Chiya sajalah yang masih merasakan ketakutan.


Ia melihat ras iblis sebagai musuh, sebagai keberadaan yang harus dimusnahkan—itulah keyakinannya, atau setidaknya begitu yang ia kira. Namun tanpa disadari, dari sekadar kilasan pikiran, ia mulai menghitung jumlah kematian ras iblis seolah itu adalah kematian manusia. Sisa-sisa cara pandang dari dunianya yang lama masih melekat padanya. Sebenarnya, bagi Hibiki, wujud luar ras iblis itu memang tidak jauh berbeda dari manusia.


(Tidak… mungkin Tomoki juga sama. Bagaimanapun, dia juga berasal dari Jepang. Itu pun kalau sikapnya yang dulu hanyalah upaya untuk “pura-pura kuat”.) (Hibiki seperti sedang berdebat dengan perasaaannya sendiri)


On the boy that looked like he trusted too much on his level, Hibiki fixed a “probably” on him while thinking. Living in a world where you wouldn’t normally get to see the death of people up close, there is no way one can adapt in this battlefield so easily after all.


“Ah, the gate is…”


“Opening!”


Naval and Bredda’s words. Hibiki thought those were her own words, but she felt relief that it would end in just her pointless fears.


The welling up yells of the united hyuman troops resound in the battlefield like angry roars.


At that moment.


The pointless fears that Hibiki had thrown away, had suddenly become real.


The ground… collapsed.


In a fortress that is on the top of a gentle hill road, just before the gates the ground opened up. Everything of it.


As if taking the yells of the hyumans as a signal.


It collapsed in a breath. Saying it more precisely, it disappeared. Below it, darkness. Even when taking into account it was night, the scenery below still felt like a deep hades.


Hening beberapa detik. Jadi tanah itu memang hasil sihir, ya. Bahkan tidak ada suara apapun saat tanah yang “runtuh” itu menghilang.


*(Tanah… hilang?!) * (Hibiki)


Apakah itu rasa terkejut atau kebingungan? Sebuah ruang aneh tanpa suara siapa pun menyebar di medan perang.


Berapa banyak orang yang benar-benar menyadari tanah itu telah lenyap, seperti pahlawan Limia?


“Wudi! Chiya-chan!” (Hibiki)


Hibiki sudah bersiap untuk kemungkinan ini, sehingga ia mampu bereaksi lebih cepat dari siapapun. Dua mantra yang telah dipersiapkan bisa dimanfaatkan. Dalam situasi normal, biasanya hanya mantra bantuan pergerakan cepat yang diminta. Tapi sebagai antisipasi, ada formasi sihir gantung yang telah disiapkan Chiya di atas mereka. Suatu langkah cerdas dari Hibiki.


Beberapa detik kemudian, mantra itu aktif, dan kelompok Hibiki berhasil menghindari jatuh ke dalam lubang. Sebuah penghalang berwarna biru muda samar muncul, membentuk kubah pertahanan sihir.


“Aaa… aaahh…”


Suara para sekutu yang jatuh terdengar dari kelompok mereka.


Tidak ada cara untuk mengetahui seberapa jauh lubang itu membentang. Namun karena mereka sama sekali tidak menyiapkan tindakan pencegahan, hasil yang menanti sudah bisa diprediksi.


Looking at it in an objective way, half of the soldiers that went mad and entered the frontlines had disappeared in a second.


At the reality that one could only think of as absurd, Hibiki couldn’t utter a word. The only ones remaining from the kingdom’s army were the spell casters at the rear guard, the bow unit and the knight units that were positioned with the nobles at the center.


Partial destruction… no, a bigger damage than that.


While constantly praying that the ones who fell were able to cope with it somehow on their own, Hibiki, without caring about the place, yelled out words to her party as if trying to suppress the scream that was trying to come out.


“Wudi, for now return up! Please try to move as much to the rear as possible. Naval and Bredda will come with me and find as many units remaining as possible, Chiya maintain the barrier okay?!” (Hibiki)


Hibiki looks up. It is something to be expected but… arrows and stones, as well as spells of many colors began to rain at them.


“… Naval, Bredda. Change of plans. Until we are able to return up, intercept!  Come out as well Horn! We are going to survive!” (Hibiki)


While Hibiki calls from the silver belt the guardian wolf beast, Horn, her words were also to encourage herself.



---------------------------------------------


Jika ada kalimat/kata/idiom yang salah diterjemah atau kurang enak dibaca, beritahu kami di kolom komentar, dilarang COPAS dalam bentuk apapun macam-macam kuhajar kau.




 Jangan lupa Like Fanspage kami & Share terjemahan ini ya !!!  


EmoticonEmoticon