September 13, 2025

Tsuki ga Michibiku Isekai Douchuu Bahasa Indonesia Chapter 72 - Berlanjut Setelahnya

  



 

 

Chapter 72 - Berlanjut Setelahnya

Dengan demikian, saat langit mulai memucat, mundurnya pasukan gabungan pun dimulai.


"Sudah pagi ya. Kalian benar-benar gigih." (Io)


"Kalau terdesak, siapa pun bisa menunjukkan kekuatan yang melampaui batasnya." (Hibiki)


Kata-kata penuh kelebihan dari Io dijawab Hibiki dengan teriakan nekat sambil menghindari serangan.


“Itu salah. Bisa menunjukkan kekuatan yang melampaui batas hanya terjadi kalau seseorang sudah benar-benar tumbuh dan berlatih. Kalian ini memang prajurit yang sangat terampil. Sepertinya aku benar-benar salah menilai sang Hero.” (Io)


Pujian itu meluncur begitu saja dari mulutnya.


Tiga meter—dari sudut pandang orang biasa, tinggi seperti itu sudah bisa dibilang luar biasa. Namun dengan tubuh sebesar itu, Io bergerak begitu lincah, menampilkan teknik yang bahkan bisa membuat ahli bela diri papan atas merasa getir.


Menilai dirinya sebagai “tipe power, tubuh kekar” jelas merupakan kesalahpahaman besar. Hibiki benar-benar membenci orang bodoh yang membuat analisis seperti itu. Gerakan ini adalah gerakan seseorang yang telah mengasah tubuhnya dengan sempurna.


Seorang raksasa, yang biasanya akan dianggap mengayunkan kapak atau tongkat dengan berbagai lengannya secara membabi buta. Namun kenyataannya sama sekali berbeda.


“Serangannya tidak kena dengan benar! Orang ini jauh lebih menyebalkan daripada si laba-laba itu!” (Naval)


Teriakan Naval. Itu memang benar. Kilatan serangan yang ia lepaskan sejauh ini sama sekali tidak bisa disebut serangan yang efektif. Sejak awal, beberapa kali serangannya memang berhasil mengenai lengan Io dari berbagai sudut, namun kulitnya saja tak tergores. Lebih buruk lagi, ia sama sekali tidak membiarkan serangan mengenai titik yang sama. Dengan gesit ia menggeser tubuhnya, dan entah dengan cara apa, membuat ujung senjata hanya meluncur begitu saja di atas kulit kerasnya.


“Jangan merendahkan dirimu seperti itu, wanita berambut putih. Meski tak bertenaga, teknik pedangmu sungguh indah.” (Io)


“Apa kau sedang berpura-pura jadi guru bela diri sekarang?! Guuuhh!!” (Bredda)


Bredda segera bergerak ke arah Naval, melompat untuk membelokkan salah satu ayunan lengan Io dari jalurnya.


“Guru, ya? Kedengarannya menarik. Orang seperti kalian, yang bisa menahan seranganku selama ini, jarang ada. Bagaimana? Mau ikut ke pihak ras iblis? Tto—” (Io)


Io melangkah dengan gerakan seolah tubuhnya bergeser arah dalam sekejap, mengubah posisinya begitu saja. Di ruang tempat ia berdiri barusan, sesuatu yang terbentuk dari kekuatan sihir melintas tajam.


“Kenapa kau bisa menghindari angin tak kasatmata?! Apa kau bisa membaca aria-nya?!”


“Salah, pengguna angin. Kalau kau tahu seberapa besar kekuatan sihir yang dipakai, kau bisa membaca sebagian besar serangan yang datang. Tempat yang dituju, dan titik di mana itu akan diaktifkan—matamu sudah memberitahuku informasi itu.” (Io)


Itu adalah tindakan yang lahir dari pengalaman luar biasa panjang. Meski ia mengatakannya dengan mudah, tak banyak orang yang benar-benar mampu melakukannya.


“Aku akan memaksa jalan ini terbuka sekali untuk selamanya!” (Hibiki)


“!! Bagus sekali!” (Io)


Dengan terjangan tajam Hibiki, Io sedikit terdorong mundur. Namun bukan berarti Hibiki sudah mencapai level seorang Jenderal Iblis. Hanya saja, perkiraan awal Io terhadap kemampuan aslinya kini mulai terlampaui—itu saja.


Mampu melampaui perkiraan seorang jenderal dengan pengalaman sebesar itu jelas bukan sesuatu yang bisa dilakukan orang biasa. Namun, bagi Io, hal itu hanyalah sebuah kejutan kecil.


Hibiki merasakan umpan balik yang nyata dari tangannya. Perasaan pedangnya menembus hingga ke tulang. Pedang Hibiki berhasil membelah salah satu lengan Io sampai ke bagian tengah.


“Oh, mengagumkan. Tapi bagaimana kau berencana melewati penghalang berikutnya, Hero?” (Io)


“… Pedangnya tidak bisa dicabut?!” (Hibiki)


“Kalau aku mengencangkan ototku, kau tak akan bisa menarik pedangmu. Dan dengan begitu, gerakanmu juga akan berhenti!” (Io)


“!!”


Hibiki langsung memahami apa yang akan terjadi setelah ini.


Ia seketika melepaskan pedangnya. Tindakan ini lahir dari kepercayaan Hibiki pada instingnya sendiri.


Suara tumpul terdengar. Itu adalah serangan pertama yang ia terima dalam pertarungan ini. Lebih dari itu, ini adalah serangan pertama yang ia terima sejak datang ke dunia ini—serangan tanpa sedikit pun perlindungan ilahi dari Sang Dewi.


Hibiki terpental seperti kerikil yang ditendang. Chiya segera berlari mengejarnya.


“Ga-ha!! U… guhh… wuuh…” (Hibiki)


(Sakit! Sakit! Sakit! Sakit!) (Hibiki)


Pikiran Hibiki terwarnai hanya dengan satu hal. Apakah ini efek dari hilangnya perlindungan ilahi Sang Dewi? Sesaat, Hibiki sempat berpikir begitu.


(Sakit, sakit, sakit! Tapi! Hilangnya perlindungan Dewi sebenarnya tidak terlalu berpengaruh! Karena aku masih bisa bergerak tanpa banyak perubahan. Masalahnya adalah dia, Io. Dia terlalu kuat!) (Hibiki)


Hampir saja dikendalikan oleh rasa sakit, Hibiki memaksa pikirannya untuk bertahan, walau sedikit, demi menjaga akal sehatnya. Pikir. Untuk sekarang, pikir saja. Demi bisa kembali sadar, Hibiki terus memaksa dirinya berpikir sambil menggeliat menahan sakit.


(Bahkan tulangku patah. Yang dipukul tadi perutku, ya. Memukul perut seorang wanita, betapa tidak ksatrianya. Sepertinya dia butuh sedikit hukuman. Ah… mulutku penuh dengan rasa darah. Sepertinya berasal dari tenggorokanku. Untung saja ada sihir di dunia ini. Kalau di dunia normal, aku pasti tak akan bisa makan malam ini. Tapi dengan sihir penyembuhan, aku bahkan bisa makan daging. Aku beruntung.) (Hibiki)


Dengan pikirannya yang masih kacau, ia berusaha mengalihkan perhatian dari luka-lukanya. Tampaknya sihir pemulihan otomatis yang sempat aktif saat itu mulai bekerja perlahan, membuat rasa sakitnya sedikit mereda. Ditambah lagi dengan sihir penyembuhan dari Chiya, kedua efek itu saling memperkuat dan mempercepat proses pemulihan.


Meski masih goyah, Hibiki berhasil berdiri setelah beberapa saat.


“Pada saat kau melepaskan pedangmu itu, kau bahkan sempat membentuk penghalang, meski tak sempurna. Padahal aku menyiapkan serangan itu dengan niat mencincangmu jadi daging hancur. Benar-benar mengesankan. Kau punya insting di level seorang jenius.” (Io)


“Kalau aku sampai tidak bisa melahirkan nanti, bagaimana kau akan menggantinya? Dan lagi, mencincang daging katanya—betapa menjijikkan. Jangan bercanda!” (Hibiki)


“Gadis yang bersemangat sekali. Ambillah kembali pedangmu. Mungkin tak ada gunanya, tapi bagaimana kalau kau coba mencari pedang yang lebih baik?” (Io)


Hibiki meraih pedang yang dilemparkan padanya. Tentu saja, luka di lengan Io sudah tak meninggalkan jejak sedikit pun.


“… Kalau besok masih ada, aku akan mempertimbangkan saranmu.” (Hibiki)


Seperti biasa, kata-kata yang seharusnya penuh ketegangan justru ia balas dengan ucapan tak tahu malu.


“Kalau kalian masih hidup sampai besok, kalian akan punya tempat untuk pulang. Tapi dua syarat itu sama sekali mustahil.” (Io)


?!”


Ucapan santai sang Jenderal Iblis. Namun ketika ia menyinggung soal tempat untuk kembali, Hibiki dan yang lainnya sontak membuka mata lebar-lebar.


“Oh, jadi kalian kaget juga ya. Saat ini, pasukan terpisah sedang bergerak menuju Limia.” (Io)


“Jangan bercanda! Tidak mungkin ibu kota akan jatuh hanya dengan satu unit pasukan!” (Bredda)


Bredda menjadi orang pertama yang membantah. Mustahil Kerajaan Limia bisa dikalahkan begitu saja hanya oleh satu unit pasukan ras iblis. Namun begitu ia menyadari bahwa api peperangan benar-benar mengarah ke tanah kelahirannya, ekspresinya berubah drastis.


“Kau benar. Jumlahnya sekitar dua ribu. Dalam kondisi normal, kekuatan sebesar itu jelas bukanlah pasukan yang bisa digunakan untuk menyerang ibu kota sebuah negara besar.” (Io)


Dalam kata-kata Io terasa ada nada iba. Ia bahkan menghela napas. Meski membenarkan ucapan Bredda, bagian akhir pernyataannya justru menimbulkan kecemasan.


“Apa yang sudah kau lakukan?” (Wudi)


Bagi Wudi, yang keluarganya berada di ibu kota, ucapan itu terasa seperti disiram air dingin saat tidur lelap. Baginya—yang hanya ingin keluarganya sejauh mungkin dari perang—hal yang tak boleh terjadi dengan cara apa pun kini justru akan terjadi.


“Seorang magician, ya. Yah, kebetulan saja aku punya bala bantuan yang bisa diandalkan. Kekuatan yang bahkan mampu menyaingiku ikut serta bersamaku.” (Io)


“Apa pasukan iblis itu semacam kotak kejutan? Kalau memang ada banyak orang sepertimu berkeliaran, para hyuman pasti sudah lama dimusnahkan.” (Hibiki)


Ucapan Hibiki penuh sarkasme. Namun intonasinya jelas menunjukkan tak ada sedikit pun rasa tenang di dalamnya.


“Hero. Itulah betapa terdesaknya kami. Nah, mari kita akhiri pertunjukan ini. Aku tak akan melupakan keberanian kalian. Mengusir si laba-laba hanya dengan lima orang, dan kalian bahkan hyuman pula. Fakta bahwa kalian semua berhasil keluar hidup-hidup menunjukkan bahwa kekuatan kalian itu nyata. Dulu aku dan sahabat baikku pernah mencoba membuatnya mundur, tapi pada akhirnya aku justru membiarkan dia mati. Sebuah kebodohan masa mudaku, penyesalan yang kualami sampai sekarang.” (Io)


“?!”


Io tidak menanggapi ucapan Hibiki, hanya menyatakan akhir dari pertarungan ini. Dan ketika ia menyebut soal pengusiran calamity spider—yang selama ini menjadi penopang mental bagi Hibiki dan rekan-rekannya—terungkap bahwa pengalaman itu bukanlah sesuatu yang hanya mereka alami.


Dampaknya jelas terasa. Kegelisahan nyata menyebar dalam kelompok sang Hero. Ucapan Io tentang kemungkinan serangan ke Limia, ditambah klaimnya pernah berhadapan dengan sang laba-laba, mengguncang mental mereka.


(… Aku benar-benar terlalu naïf. Selama ini kupikir kalau aku berusaha 10, aku pasti mendapat 10. Dengan keyakinan itu aku datang ke sini. Padahal aku sedang mempertaruhkan nyawaku. Seharusnya aku berusaha 100, 1.000, bahkan 10.000 kali lipat lebih keras! Seharusnya begitu!) (Hibiki)


Apa yang bisa ia lakukan dalam situasi yang begitu putus asa?


Mengalahkan Io dan menyelamatkan ibu kota. Sejujurnya, ia bisa dengan jelas menyatakan ini—sesuatu yang benar-benar mustahil.


Tidak cukup. Kekuatan yang dibutuhkan sama sekali tidak cukup. Bagi Hibiki, inilah frustrasi yang selama ini ia cari. Inilah langkah setelah usaha mati-matian yang selalu ia rindukan. Maka, setelah merasakannya, jawabannya jelas. Tidak bisa.


Keringat yang mengalir di pipi, rambut yang menempel di wajah—semuanya hanya terasa menjengkelkan. Gadis yang sudah berusaha sekuat tenaga, namun tetap kalah. Itulah sebenarnya harapan terdalam Hibiki, namun perlahan ia mulai memahami apa yang akan datang setelah menapaki jalan itu.


Benar. Inilah kenyataan yang menunggu seorang Hero yang kalah. Otonashi Hibiki mulai menyadari realita dari keberadaannya sebagai pusat harapan. Kekalahannya tak lagi hanya berarti dirinya sendiri.


Ada kalanya, di medan perang, ada pertarungan yang sama sekali tidak boleh kalah. Dibina di negeri yang damai, Hibiki selama ini mengira semua ini hanyalah pertempuran di dunia lain. Tapi kini ia mulai melihat kenyataannya. Ia tak bisa terus berpikir seperti selama ini.


Rasa kalah yang kini melingkupi Hibiki jauh lebih berat dibanding saat ia ditundukkan oleh laba-laba hitam itu. Untuk sementara, seluruh anggota party memang masih dalam kondisi bisa bertarung. Tapi kenyataan bahwa mereka tidak merasa bisa menang… perlahan meremukkan hati mereka.


“!!”


Dari kejauhan.


Di tempat yang jauh disana.


Ke arah di mana ibu kota Limia berada.


Cahaya keemasan dengan skala magic power raksasa membelah awan dan menembus tanah.


Tentu saja, ini adalah kejadian yang terjadi di tempat yang sangat jauh. Fenomena yang bisa terlihat dengan mata, namun untuk memperkirakan besarnya magic power dari cahaya itu sama sekali tidak mungkin dilakukan Hibiki dan yang lainnya dari posisi mereka.


Satu-satunya hal yang bisa mereka pastikan hanyalah sebuah pilar cahaya yang intens muncul, dan warnanya keemasan.


Tapi apa yang sebenarnya terjadi? Situasi ini jelas hanya mengarah ke sisi buruk. Hibiki berusaha keras memaksa pikirannya tetap tenang.


“Apa itu?!” (Io)


Sepertinya Io juga tidak menyangka hal itu akan terjadi. Hal ini sedikit melegakan mereka, karena itu berarti masih ada harapan. Kata-kata keterkejutan yang keluar untuk pertama kalinya dari mulut sang jenderal iblis terdengar bagaikan musik di telinga Hibiki.


“Itu mungkin rencana untuk membalikkan keadaan. Semuanya! Sedikit lagi, mari kita bertahan!” (Hibiki)


“Aku akan ikut bersamamu!”


“Tentu saja!”


“Magic power-ku juga belum habis kok!”


“Aku akan berusaha semampuku!”


Tentu saja, tidak mungkin ada rencana pembalikan keadaan yang begitu mudah. Semua orang memahami hal itu.


Namun meskipun begitu, para rekan yang menjawab semangat Hibiki tidak akan menyerah sampai titik darah penghabisan. Inilah senjata terkuat yang dimiliki oleh hero Limia beserta para rekannya.


(Wudi-dono, maaf. Bisa kau luangkan sedikit waktumu?)


(Naval-dono, ada apa?) (Wudi)


Menerima thought transmission dari gadis yang berdiri dengan pedangnya di samping Hibiki, Wudi menjawab tanpa mengurangi konsentrasinya. Sebuah kontak dari Naval—sesuatu yang bisa dihitung dengan jari—membuat Wudi terkejut.


(Situasi ini… mungkin ada cara untuk meloloskan diri darinya) (Naval)


(Apa?! Jadi kau butuh kerja samaku, kan?) (Wudi)


(Iya. Aku… tidak bisa memintanya pada Chiya) (Naval)


(… Baiklah, coba katakan) (Wudi)


(Aku seorang vanguard yang melawan musuh tangguh hanya bisa sebatas menarik perhatiannya. Kekuatan serangku rendah. Meski sudah berusaha mencari senjata kuat, hasilnya ya seperti yang kau lihat sekarang) (Naval)


Naval tetap melanjutkan gerakannya seperti biasa, menghindari serangan Io sambil membalas. Melihatnya menyerang terus-menerus ke bagian yang tampak lebih lemah dari pertahanan musuh, sulit rasanya merasakan kelemahan dalam ucapannya barusan.


(Menurutku, menjadikan demon general sebagai patokan penilaian diri itu agak berlebihan sih) (Wudi)


(Tidak. Aku sendiri menyadarinya. Tapi senjata yang kucari mati-matian ini ternyata berguna di sini) (Naval)


(Apa maksudmu?) (Wudi)


Percakapan itu berlangsung sembari Wudi tetap memberikan dukungan juga serangan magic. Keduanya, tanpa kehilangan konsentrasi dalam pertempuran, terus melanjutkan thought transmission. Itu sendiri sudah menunjukkan betapa tingginya kemampuan mereka—benar-benar orang-orang yang mumpuni.


(Ya. Aku berhasil mendapatkan sebuah rencana rahasia yang bisa meningkatkan kekuatan seseorang secara eksplosif. Dan juga metode untuk memperoleh attack power yang sangat besar. Sayangnya, keduanya hanya bisa digunakan sekali saja) (Naval)


(… Naval-dono, itu…) (Wudi)


(Seorang magician seperti Wudi-dono mungkin sudah mengetahuinya. Fragmen mawar, Rose Sign, dan catatan dewa kematian, Deadly Word*; itulah nama mereka. Dibutuhkan jumlah magic power yang cukup besar untuk menyiapkan aktivasi keduanya dan itu sesuatu yang aku tak bisa pakai, namun itu hal yang seharusnya bisa kau lakukan dengan mudah.*) (Naval) <(Dia dapat kertas Deadly Word! LARI!)>


(Aku menolak. Metode semacam itu juga tak akan disetujui Hibiki-dono.) (Wudi)


(Tak perlu kau beri tahu aku, aku tahu Hibiki akan menentang ide itu. Tapi, kau mengerti kan? Pelolosan sang hero adalah sesuatu yang harus terjadi. Dalam arti tertentu, keputusan Tomoki-dono lebih dewasa daripada Hibiki.) (Naval)


(Guh! Itu, memang benar…) (Wudi)


Sang hero, Otonashi Hibiki, adalah sosok yang tak boleh hilang. Bahkan jika kekuatan bertarungnya diambil, karisma, cara berpikirnya, dan kata-kata santainya yang sering memberi ide — semua itu adalah hal yang sangat dibutuhkan Kerajaan.


(Karenanya, aku mohon padamu. Tolong biarkan aku menyelamatkan Hibiki. Kau juga ingin hidup dan berkumpul lagi dengan keluargamu, bukan?) (Naval)


(?! Kata-kata itu… licik sekali, Naval-dono. … Yang mana yang akan kau pakai?) (Wudi)


(Terima kasih! Kalau begitu, aku ingin memakai keduanya. Bertarung habis-habisan dengan Rose sampai batasnya, lalu menuntaskannya dengan Death God — Deadly Word.) (Naval)


(Dua…? Kau sudah bulat sampai sejauh itu? … Baik, aku akan mengerahkan seluruh kemampuanku untuk membantumu. Saat kau memberi sinyal, aku akan segera membawa semua orang dan menunjukkan bagaimana aku mengocok pasukan itu secepat yang tak sempat mereka sadari.) (Wudi)


(Jadi kau sudah tahu tentang permintaanku yang terakhir, ya. Aku berterima kasih. Benar-benar… berterima kasih.) (Naval)


Memanfaatkan celah ketika ia berhasil menghindar dari serangan sang raksasa, Naval bergerak ke belakang, ke posisi tempat Bredda berada.


“Maaf, Hibiki, Bredda. Aku sudah memikirkan sebuah rencana sepele… bolehkah kalian menyerahkannya padaku?” (Naval)


“Naval! Kalau kau bicara begitu dan meninggalkan kami berdua melawan monster ini, berarti kau punya cukup rasa percaya diri, kan?!” (Hibiki)


“Kejam sekali, nona ini kejam sekali!” (Bredda)


Tentu saja, keduanya langsung mengeluarkan protes. Namun ekspresi wajah mereka penuh dengan harapan, jadi jelas bukan penolakan sungguhan. Naval hanya tersenyum melihat sikap mereka. Bagi gadis yang hampir tak pernah tersenyum, itu merupakan pemandangan yang jarang terjadi.


“Untuk sementara, aku titipkan ini pada kalian berdua!” (Naval)


Naval mundur ke barisan belakang, ke tempat Wudi dan Chiya. Wudi menunjukkan ekspresi tegang penuh tekad. Sementara Chiya, wajahnya murni dipenuhi semangat juang. Melihat keduanya, Naval menanggapi dengan senyum lembut.


“Wudi-dono, tolong.” (Naval)


Ia mengeluarkan sebuah benda berwarna tanah sebesar koin dari tas kecil yang tergantung di pinggangnya. Bentuknya menyerupai “Rose of the Desert” yang diperkecil.


Selanjutnya, ia mengeluarkan selembar kertas. Kertas itu agak tebal, dengan tekstur yang hampir membuat orang mengira itu kain, dan di permukaannya terukir pola tertentu.


Melihat kedua benda yang dikeluarkan Naval, Wudi menurunkan alisnya dan menarik napas panjang. Karena benda-benda itu bukan tiruan—melainkan asli.


“U-Uhm! Aku harus melakukan apa?” (Chiya)


Chiya yang belum memahami situasi dengan jelas bertanya pada dua orang yang wajahnya seakan tahu betul apa yang sedang terjadi.


Meskipun masih muda, ia tetap bisa menjaga perhatiannya pada dua rekan yang tengah menghadapi sang raksasa, sambil berbicara dengan mereka. Tanpa disadarinya sendiri, itu sudah menunjukkan pertumbuhan besar dari dirinya.


Hibiki, yang sadar rambut panjangnya hanya akan mengganggu, memotongnya pendek. Ia belajar seni pedang dari Naval, dan sihir dari Wudi. Melihat sosok yang baginya bagaikan seorang kakak perempuan, Chiya pun berusaha keras dengan caranya sendiri demi bisa terus berjalan di sisi orang itu. Berulang kali menghadapi medan perang, Chiya telah tumbuh dengan baik.


“Chiya… kau tak apa. Fokus saja pada mereka berdua.” (Naval)


“Tidak. Chiya, bantu Naval-dono dengan sekuatmu. Lancarkan sihir dukungan yang kuat, yang tak perlu diulang untuk waktu lama.” (Wudi)


“Ba-Baik!” (Chiya)


“… W-Wudi-dono.” (Naval)


“Kalau begitu, selanjutnya Rose Sign ya. Bagaimana kau akan menyelipkan note itu padanya?” (Wudi)


“Aku akan melilitkannya di gagang pedang.” (Naval)


“Kalau begitu, mari kita pastikan agar terpasang dengan baik. Kau masih ingat kunci aktivasi-nya, bukan?” (Wudi)


“Seperti yang diharapkan, hal itu sama sekali bukan main-main. Tak ada masalah.” (Naval)


Mungkin berniat mencairkan suasana sedikit, penyihir party itu mengajukan pertanyaan ringan dengan senyum tipis. Namun balasan yang ia terima hanyalah senyum kecut.


“… Aku tidak bermaksud bercanda. Jika kau hendak melangkah ke panggung sekali seumur hidup, kau harus tetap khawatir pada hal-hal kecil. Untuk berjaga-jaga.” (Wudi)


Aliran mana mengalir dari telapak tangan Wudi, membuat benda berwarna tanah yang ada di genggaman Naval mencair menjadi wujud cair, lalu perlahan terserap masuk ke dalam tubuhnya.


Pada saat yang sama, sihir pendukung penuh tekad tempur yang dilantunkan Chiya pun selesai.


Naval, merasakan kekuatan membanjiri tubuhnya, sampai bahunya bergetar. Awalnya ia mengira ini hanyalah efek dari sihir dukungan Chiya. Namun tidak—kekuatan ini meluap tanpa batas, tak menghiraukan kenyamanan penggunanya. Daya yang mengamuk bagaikan kekerasan murni, jelas bukan sesuatu yang bisa dimiliki oleh sihir dari seorang gadis kecil.


“Aku sudah memastikan aktivasi. Mulai.” (Wudi)


Suara Wudi yang tegas dan bernada profesional sampai ke telinga Naval. Sebenarnya, tak perlu ia ucapkan pun Naval sudah tahu. Tatapannya telah tertuju ke medan pertempuran—ke arah Io.


Rambut putihnya berkibar ditiup angin, menyingkap bagian belakang lehernya. Di kedua sisi leher itu, terukir pola mawar berwarna merah darah.


“… Rose Sign. Sesuatu yang sebenarnya tak ingin kulihat muncul pada seorang teman.” (Wudi)


“… Wudi-dono, ini adalah keinginanku sendiri. Jangan pasang wajah begitu. Kalau begitu… aku berangkat!” (Naval)


Dari seluruh tubuh Naval yang berlari, terpancar cahaya samar. Wujud itu, yang seharusnya terlihat indah, justru membuat Wudi menatapnya dengan sakit hati—seolah ingin menangis.


“Uhm… Rencananya, apa?” (Chiya)


“Itu semacam… persiapan untuk sebuah teknik pamungkas.” (Wudi)


“Luar biasa! Naval-san bisa menggunakan teknik seperti itu?!” (Chiya)


Melihat ekspresi bahagia polos dari Chiya, Wudi menghentikan sejenak aliran sihir di tangannya, lalu menengadah ke langit.


“… Ya. Sekali pakai saja.” (Wudi)


Ia berbisik.


Suara itu larut ke dalam kegelapan malam.

---------------------------------------------


Jika ada kalimat/kata/idiom yang salah diterjemah atau kurang enak dibaca, beritahu kami di kolom komentar, dilarang COPAS dalam bentuk apapun macam-macam kuhajar kau.



 Jangan lupa Like Fanspage kami & Share terjemahan ini ya !!!  


EmoticonEmoticon