September 13, 2025

OVERLORD Bahasa Indonesia Phantom Ship of Katze Plains Chapter 4 - Part 6

                 

 

 Chapter 4 - Part 6

Di kapal itu, selain Skeleton, tak ada sosok lain yang terlihat.


Komandannya bersembunyi sambil menggunakan Skeleton sebagai pion pengorbanan untuk mengukur kekuatan kita? Apakah itu kesimpulan yang masuk akal?


“—Ya sudah, tidak masalah.”


Ia memutuskan untuk memperlihatkan sebagian kecil saja dari kemampuan bertarungnya.


Rentetan tembakan kedua melesat ke arah Ainz, dan sekali lagi, panah-panah itu terpental sebelum sempat mengenai tubuhnya. Serangan ini sama sekali tidak berbeda dengan yang pertama.


Kalau mereka ingin menganalisis kekuatan kita, seharusnya mereka mencoba menggunakan anak panah berbeda dari serangan sebelumnya… apa mereka tidak punya? Atau mungkin mereka tidak bisa memberi instruksi sedetail itu?


“Nabe, kita turun ke dek.”


Meskipun Skeleton-skeleton itu tampak lebih kuat daripada Skeleton biasa, perbedaannya bisa dibilang tidak berarti.


Saat para Skeleton bersiap melepaskan rentetan tembakan ketiga, Ainz — yang sudah menggenggam sebuah crude staff yang sederhana — turun ke bagian tengah kapal.


(Catatan: crude staff adalah tongkat sihir Ainz yang ia gunakan untuk menyembunyikan kekuatan sebenarnya dan tidak memperlihatkan kekuatan legendaris)


Dek Ghost Ship itu, meski tidak berlubang, tampak sangat rapuh. Kayunya berderit keras ketika menanggung bobot tubuh Ainz. Tidak terdengar suara dari Narberal, yang pasti turun tepat di belakangnya — bukan karena tubuhnya ringan, melainkan karena ia masih mempertahankan [Fly] dan melayang sedikit di udara.


Bagaimanapun juga, dek itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan runtuh di bawah bobot tubuh Ainz. Dari luar mungkin terlihat lebih kokoh daripada yang sebenarnya, tapi Ainz tahu betul bahwa kenyataannya tidak demikian.


Ainz sebenarnya bisa mendeteksi keberadaan undead, hanya saja kabut selama ini mengganggu kemampuan itu. Namun kini, pada jarak sedekat ini—atau lebih tepatnya karena ia bersentuhan langsung—ia bisa merasakan dengan jelas. Kapal ini sendiri adalah undead.


Begitu ya. Jadi inilah yang mendeteksi Narberal.


Benar.


Kapal ini sendiri adalah satu undead utuh.


Hubungan antara para Skeleton dengan kapal ini — apakah mereka hidup berdampingan, parasit, atau sekadar bawahan — masih belum jelas. Namun—


—Ah, mungkin aku tidak perlu curiga bahwa ada seseorang yang berusaha mengungkap identitas asli Momon. Kemungkinan besar ini hanyalah undead yang kebetulan ada di tanah yang memang penuh dengan undead. Tidak mungkin juga ini jebakan yang sudah disiapkan lebih dari sepuluh tahun sebelum aku datang ke dunia ini. Namun, pertanyaan kenapa kapal ini adalah Ghost Ship masih tetap tersisa!


Masalah mengenai Skeletal Dragon juga cukup mengusik, tapi untuk saat ini informasinya terlalu sedikit.


Bagaimanapun, jika undead sebesar ini… berapa kira-kira levelnya? Tidak, bisa saja ini hanya makhluk dengan HP yang sangat tinggi, tapi kemampuan lainya biasa saja.


Seperti yang ditunjukkan oleh para Overlords seperti Ainz, ukuran tubuh tidak selalu sebanding dengan level.


Meski begitu, memang benar bahwa monster besar umumnya berlevel tinggi. Dan memiliki HP yang sangat tinggi juga.


Para Skeleton mengarahkan crossbow mereka ke Ainz dan Narberal.


“Nabe.”


Hanya dengan satu kata itu, Narberal segera berlindung di belakang Ainz.


Lalu, rentetan tembakan ketiga pun dilepaskan.


Sama seperti sebelumnya. Tidak, karena jaraknya sudah lebih dekat, kali ini tidak ada satu pun panah yang meleset. Namun hasilnya tetap sama.


Skeleton-skeleton itu kembali memasukkan panah ke dalam crossbow mereka.


Tindakan mereka jelas menunjukkan betapa rendahnya kecerdasan mereka.


Rentetan serangan kedua masih bisa dimaklumi. Karena Ainz dan Narberal melayang di udara, para Skeleton memang tidak punya cara lain untuk menyerang. Selain itu, mengulang metode serangan yang sama dalam waktu singkat bisa dianggap sebagai strategi yang sah, dengan asumsi kemampuan yang menggagalkan serangan panah mereka hanya bisa dipakai terbatas.


Namun, pada jarak sedekat ini, seharusnya mereka membuang crossbow yang tak berguna itu dan menyerang dengan tinju.


Apakah ini berarti perintah mereka tidak berubah? Atau… apakah mereka berada di bawah kendali kapal ini?


Jika Skeleton-skeleton ini adalah bawahan seseorang yang sedang memantau situasi, mereka tidak akan bertindak seperti ini. Karena itu, kesimpulan yang paling masuk akal adalah: perintah itu datang dari pihak yang tidak bisa mengawasi situasi secara langsung.


Kalau begitu, berarti serangan hanya akan berganti setelah Skeleton-skeleton itu menerima luka—benar, kan? Kapal ini masih bergerak ketika para Skeleton muncul di dek. Dayungnya juga ikut bergerak, kalau ingatanku tidak salah. Kalau begitu, tidak ada masalah.


Ainz melangkah maju dan mengayunkan tongkat di tangannya.


Tongkat yang digenggam Ainz memang dibuat khusus untuk pertarungan jarak dekat. Namun yang lebih penting, lawannya hanyalah Skeleton. Rapuh sebagaimana mestinya, tubuh mereka pecah berderak setiap kali dihantam tongkat itu.


Para Skeleton jelas-jelas membidikkan crossbow mereka ke arah Ainz, tapi ia sama sekali mengabaikannya.


Seperti sebelumnya, panah-panah itu terpental begitu saja.


Pada akhirnya, Skeleton-skeleton itu hanya berhenti menembak ketika Ainz menghancurkan yang terakhir.


“Apa-apaan ini, dasar bajingan!”


Dengan dentuman keras, sebuah pintu terbuka. Saat menoleh, mereka melihat sesosok undead keluar dari bangunan di buritan kapal.


Di satu tangannya ia melambaikan sebilah scimitar terhunus. Di atas kepalanya menempel sebuah topi tricorn. Selain itu, tubuhnya berbalut mantel berat polos dan celana panjang. Sekilas, ia tampak seperti kapten bajak laut. Namun yang mengisinya adalah tipe undead yang sudah sangat dikenalnya.


“…Seorang Elder Lich?”


Namun, biasanya seorang Elder Lich adalah magic caster. Dilihat dari penampilannya, Elder Lich di hadapan mereka ini lebih menyerupai seorang prajurit ringan.


Bahkan hanya dengan menilai dari perlengkapannya saja, jelas bahwa ini adalah spesimen yang sangat langka.


“Dasar bajingan! Apa yang kalian lakukan pada—pada kru istriku!”


Elder Lich itu meraung marah ketika melihat sisa-sisa Skeleton yang hancur berserakan di atas dek.


Memang benar ia menunjukkan kemarahan, tetapi sebagai undead, emosinya mustahil memuncak sampai bisa disebut amarah sejati.


“…Kau.”


Tatapan Elder Lich itu sejak awal tertuju pada Narberal. Ia sama sekali mengabaikan Ainz, meskipun dialah yang menghancurkan para Skeleton. Alasannya pun segera menjadi jelas lewat kata-kata berikutnya.


“…kau itu salah satu dari yang hidup, kan? Hanya dengan melihat wajahmu… hanya dengan merasakan keberadaanmu—apa ini sensasi yang mendidih di dalam diriku? Apakah ini yang mereka sebut… kebencian?”


Mungkin inilah emosi pertama yang pernah dialami Elder Lich ini.


Jika ia memang belum pernah meninggalkan daratan ini, hal itu sepenuhnya masuk akal.


Ainz sendiri tidak yakin bagaimana harus menanggapi. Apa ada keuntungan dengan menghancurkan undead ini? Lebih jauh lagi, apa sebenarnya hubungan antara Ghost Ship dan Elder Lich yang ada di depannya? Secara logika, perannya adalah kapten dan juru mudi. Namun karena kapal itu sendiri adalah undead, ada kemungkinan ia bisa bergerak secara mandiri.


Dan juga tentang keberadaan ‘istri’ yang disebut-sebut tadi… Apa dia memiliki spesialisasi dalam mengendalikan undead? Itu sebabnya mereka belum memulai serangan?


Ainz dan Narberal jelas telah menyatakan diri sebagai musuh dengan menghancurkan para Skeleton, tapi Elder Lich ini masih memilih untuk berbicara. Mungkin ini hanya taktik untuk menunda waktu sampai suatu persiapan selesai.


Bahkan jika ‘istri’ itu berada di level yang sama, atau sedikit lebih tinggi sekalipun, sulit dibayangkan ia bisa menjadi ancaman bagi Narberal dan diriku. Kalau begitu, sepertinya akan lebih menguntungkan kalau aku mengikuti permainan mereka sambil membiarkan waktu berlalu.


“…Kau undead yang mengendalikan kapal ini? Tidak, apa kau kapten kapal ini?”


Elder Lich itu mengalihkan pandangannya seolah baru menyadari keberadaan Ainz. Ia bisa merasakan bahwa perhatian undead itu kini tertuju padanya.


Lalu, ia berhenti.


“Hoh.”


Ainz menghela napas.


Cerdik juga. Awalnya memulai percakapan, lalu diam. Sempurna untuk membeli waktu.


“…Untuk undead berpangkat rendah mengabaikan pertanyaan Ainz-sama. Kesombongan seperti ini sungguh tak terukur.”


“Nabe. Diamlah.”


“Ya! Mohon maaf, Ainz-sama!”


Ainz bisa merasakan Narberal membungkuk di belakangnya. Pada saat yang sama, undead yang sementara disebut sebagai kapten kapal itu mulai bergetar hebat.


…Apakah ia mampu mengenali kekuatanku hanya dengan satu tatapan? Mungkin ia menggunakan semacam deteksi sihir? Bagus. Namun, ini justru menguntungkanku. Sekarang aku bisa bernegosiasi untuk berbagai hal—


“A-apa-apaan ini! Wajahnya tampan sekali!”


“…Hah?”


Ainz hampir tidak percaya dengan telinganya sendiri.


“Dasar bajingan! Bertingkah sok hebat cuma karena wajahmu sedikit lebih tampan dariku! Akan kubinasakan kau! Akan kubuat sengsara kau!”


“…Apa-apaan ini?”


Dengan kata-kata yang mengekspresikan rasa cemburu terhadap ketampanannya, sesuatu yang sebelumnya tidak pernah dipuji oleh siapa pun di luar Nazarick, Ainz — meskipun undead — sempat kebingungan.


Ini bukan sandiwara atau provokasi.


Elder Lich itu serius. Dan tampak benar-benar marah. Meski Ainz memahami bahwa rasa estetika berbeda tiap orang, dipuji oleh seseorang dengan selera berbeda membuatnya lebih curiga daripada malu. Apa yang dirasakan Ainz bahkan lebih dari itu — perasaan ini membuatnya mempertanyakan kewarasan pihak lain.


“[Fireball]!”


Mantra itu dilepaskan.


Apakah pedang lengkung yang dipegangnya hanya untuk hiasan? Berdasarkan pilihannya menyerang dengan [Fireball], mungkin ia hanyalah Elder Lich biasa. Bisa jadi ia terlihat langka hanya karena perlengkapannya yang aneh. Berbagai pemikiran itu melintas di pikiran Ainz.


[Fireball] itu membesar dengan ganas, tapi tidak mungkin mantra tingkat ketiga bisa melukai Ainz. Bagi Narberal juga tidak akan menjadi masalah besar. Namun, fakta bahwa Narberal mungkin sempat menerima sedikit cedera sudah cukup membuat Ainz merasa tersinggung.


Namun, ia menahan emosinya dengan sangat tegas.


“…Aku tidak percaya kau menggunakan [Fireball] pada sebuah kapal.”


Ainz berbicara dengan nada angkuh. Selain terbuat dari kayu, kapal itu juga undead, sehingga sangat mungkin kerusakan akibat api adalah kelemahannya. Dengan mempertimbangkan hal itu, seharusnya Elder Lich memilih mantra lain. Namun kenyataannya ia tidak melakukannya, yang mungkin berarti Elder Lich ini sebenarnya tidak memiliki hubungan kerja sama dengan undead kapal itu.





Bagaimanapun kondisinya, kapten undead kapal itu seharusnya tidak kehilangan kendali karena amarah. Jika itu terjadi, maka tidak ada masalah untuk menghancurkannya tanpa ragu.


Kalau menghancurkan satu berarti yang lain juga akan hancur, maka aku tidak bisa menyerang, ya.


Ainz datang ke sini untuk mendapatkan Ghost Ship. Kapal itu menjadi prioritas utama. Kapten undead kapal menjadi prioritas kedua.




PREVIOUS | INDEX | NEXT


Baca doank, komen kaga !!!
Ampas sekali kalian ya~


Peringatan: Author ngambek, auto delete!! Belilah Novel aslinya jika sudah tersedia!!





EmoticonEmoticon